Jalan-Jalan-Kalimantan
Sabtu, 19 Juni 2010
museum lambung mangkurat
Bermula dari Museum Borneo yang didirikan oleh Pemerintah Belanda pada tahun 1907 di Banjarmasin. Akibat masuknya penjajahan Jepang, Museum Borneo berakhir dan dilanjutkan pencetusannya oleh Gubernur Milono dengan didirikannya Museum Kalimantan pada tanggal 22 Desember 1955. Separuh dari koleksi museum ini merupakan kepunyaan Kiai Amir Hasan Bondan Kejawen sebagai salah satu Bapak Pioneer Museum.
Didahului dengan diselenggarakannya Konferensi Kebudayaan pada tahun 1957 di Banjarmasin, yang sepuluh tahun kemudian (1967) diresmikan berdirinya kembali museum yang diberi nama Museum Banjar. Museum Banjar berakhir dan koleksinya dipindahkan ke Museum Lambung Mangkurat bertempat di Banjarbaru tepatnya di jalan Jenderal Achmad Yani KM 35,5 Kelurahan Banjarbaru Utara. Museum Lambung Mangkurat mulai dibangun pada tahun 1974 dan diresmikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef pada tanggal 10 Januari 1979.
Bermula dari Museum Borneo yang didirikan oleh Pemerintah Belanda pada tahun 1907 di Banjarmasin. Akibat masuknya penjajahan Jepang, Museum Borneo berakhir dan dilanjutkan pencetusannya oleh Gubernur Milono dengan didirikannya Museum Kalimantan pada tanggal 22 Desember 1955. Separuh dari koleksi museum ini merupakan kepunyaan Kiai Amir Hasan Bondan Kejawen sebagai salah satu Bapak Pioneer Museum.
Didahului dengan diselenggarakannya Konferensi Kebudayaan pada tahun 1957 di Banjarmasin, yang sepuluh tahun kemudian (1967) diresmikan berdirinya kembali museum yang diberi nama Museum Banjar. Museum Banjar berakhir dan koleksinya dipindahkan ke Museum Lambung Mangkurat bertempat di Banjarbaru tepatnya di jalan Jenderal Achmad Yani KM 35,5 Kelurahan Banjarbaru Utara. Museum Lambung Mangkurat mulai dibangun pada tahun 1974 dan diresmikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef pada tanggal 10 Januari 1979.
Masjid Raya Sabilal Muhtadin
Masjid ini terletak di tengah Kota Banjarmasin. Nama ”Sabilal Muhtadin” merupakan nama penghargaan terhadap ulama besar Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjary (1710-1812) yang selama hidupnya memperdalam dan mengembangkan Islam di Kerajaan Banjar.
Masjid Raya Sabilal Muhtadin dibangun di atas tanah seluas 100.000 meter persegi. Posisi mesjid sekarang, pada zaman penjajahan Belanda dikenal dengan Fort Tatas atau Benteng Tatas,
Masjid ini adalah Masjid terbesar di Kota Banjarmasin yang juga menjadi kebanggaan warga kota ini. Bangunan masjid mulai dinding, lantai, menara dan turap plaza, keseluruhannya berlapiskan marmer. Secara total masjid terbesar se-Kalimantan ini mampu menampung 15.000 jamaah. Di bagian dalam bangunan sebanyak 7.500 dan di halaman 7.500.
Masjid Raya Sabilal Muhtadin sering sekali menjadi pusat peringatan hari-hari besar Umat Islam seperti : Shalat Idul Fitri dan Idul Adha, Peringatan Isra Mi’raj, Peringatan Maulid Nabi, Peringatan Khataman Al – Qur’an dan lain lain. Di Komplek Mesjid ini juga dilengkapi dengan Sekolah Islam Sabilal Muhtadin.
Masjid Raya Sabilal Muhtadin yang mempunyai bentuk yang unik dengan kubahnya yang khas, sangat cocok untuk anda kunjungi ketika berkunjung ke Banjarmasin karena di komplek Mesjid ini juga terdapat Hutan Kota serta tidak jauh dari Taman Maskot dan Siring Sungai Martapura.
Upacara Adat Macceratasi
Macceratasi adalah sebutan untuk pesta atau upacara adat menumpahkan darah hewan ke laut yang biasa dilakukan oleh masyarakat pesisir Kotabaru, Kalimantan Selatan. Masyarakat pesisir Kotabaru umumnya terdiri dari beberapa suku, yaitu Bugis, Mandar, Banjar, dan Bajau atau Bajo. Penduduk Kotabaru ini biasanya mengadakan Upacara Adat Macceratasi setiap menjelang tahun baru Masehi (sekitar bulan Desember) di Pantai Gedambaan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas berkah penghidupan dari laut.
Upacara ini memiliki kemiripan dengan upacara adat yang biasa dilakukan oleh masyarakat nelayan di Nusantara, seperti Hajat Laut di Pantai Pangandaran, Jawa Barat, Festival Galesong di Takalar, Sulawesi Selatan, Petik Laut di Malang, Jawa Timur, serta Festival Samboja di Samboja, Kalimantan Timur. Umumnya, rasa syukur para nelayan atas berkah rezeki dari laut diwujudkan dengan upacara melarungkan benda, makanan, atau bagian tubuh hewan (seperti kepala atau darah hewan) ke tengah laut. Hal ini dilakukan sebagai simbol memberikan “makanan” bagi laut, dengan harapan laut akan selalu menjamin rezeki para nelayan yang menggantungkan hidup darinya.
Upacara ini memiliki kemiripan dengan upacara adat yang biasa dilakukan oleh masyarakat nelayan di Nusantara, seperti Hajat Laut di Pantai Pangandaran, Jawa Barat, Festival Galesong di Takalar, Sulawesi Selatan, Petik Laut di Malang, Jawa Timur, serta Festival Samboja di Samboja, Kalimantan Timur. Umumnya, rasa syukur para nelayan atas berkah rezeki dari laut diwujudkan dengan upacara melarungkan benda, makanan, atau bagian tubuh hewan (seperti kepala atau darah hewan) ke tengah laut. Hal ini dilakukan sebagai simbol memberikan “makanan” bagi laut, dengan harapan laut akan selalu menjamin rezeki para nelayan yang menggantungkan hidup darinya.
Upacara Adat Aruh Baharin
Bagi sebagian masyarakat di Nusantara, terutama bagi mereka yang menggantungkan hidupnya dari bertani padi, musim panen adalah salah satu momen yang ditunggu-tunggu kedatangannya. Selain bermakna ekonomi, musim panen padi juga mengandung makna spritual. Oleh sebab itu, sebagian masyarakat menggelar ritual-ritual tertentu atau upacara-upacara khusus sebelum atau sesudah musim panen padi tiba. Salah satunya adalah upacara adat Aruh Baharin yang digelar oleh masyarakat Dayak yang berdomisili di Desa Kapul, Kecamatan Halongan, Kabupaten Balangan, Provinsi Kalimantan Selatan. Biasanya, upacara dipusatkan di balai adat, rumah adat, atau di tempat-tempat khusus yang sengaja dibuat untuk keperluan upacara adat Aruh Baharin.
Pada awalnya, Aruh Baharin merupakan upacara adat yang dihelat oleh masyarakat Dayak Halongan pemeluk agama Kaharingan (agama suku Dayak) setelah musim panen padi ladang (pahumaan) usai. Tujuan digelarnya upacara ini adalah sebagai perwujudan rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa atas hasil panen padi ladang yang melimpah, sekaligus penghormatan terhadap arwah leluhur yang diyakini senantiasa melindungi mereka dari berbagai marabahaya. Mereka meyakini, beras hasil panen (baras hanyar) belum boleh dimakan, sebelum upacara adat tersebut dilaksanakan.
Namun dalam perkembangan selanjutnya, upacara adat yang diwariskan secara turun-temurun ini juga digunakan untuk mensyukuri hasil usaha lainnya, seperti berdagang, beternak, nelayan, dan lain sebagainya. Begitu pula pelaksanaannya, yang tidak hanya diikuti oleh masyarakat Dayak pemeluk agama Kaharingan, tapi juga diikuti oleh pemeluk dari berbagai agama yang terdapat di Desa Kapul. Bahkan, upacara adat ini juga dihadiri oleh masyarakat yang berada di sekitar Desa Kapul, serta tokoh masyarakat dan pemuka adat dari kabupaten dan provinsi lain di Pulau Kalimantan yang sengaja diundang untuk menghadiri upacara ini.
Biasanya, pada upacara yang digelar selama tujuh hari tujuh malam berturut-turut ini disembelih beberapa ekor kerbau, kambing, dan ayam. Upacara adat tersebut juga dilengkapi dengan berbagai keperluan-keperluan lainnya, baik yang berkaitan dengan kebutuhan pihak penyelenggara maupun yang berhubungan dengan kelengkapan upacara itu sendiri, yang mana membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Agar tidak terlalu memberatkan, biaya untuk pelaksanaan upacara ini ditanggung bersama oleh kelompok masyarakat adat yang terdapat di Desa Kapul. Di desa tersebut terdapat tiga kelompok masyarakat adat, di mana setiap kelompok adat biasanya terdiri dari 25 sampai 30 kepala keluarga. Selain itu, untuk meringankan pihak penyelenggara, upacara adat Aruh Baharin belakangan ini digelar tiga tahun sekali dan bahkan lima tahun sekali.
Pada awalnya, Aruh Baharin merupakan upacara adat yang dihelat oleh masyarakat Dayak Halongan pemeluk agama Kaharingan (agama suku Dayak) setelah musim panen padi ladang (pahumaan) usai. Tujuan digelarnya upacara ini adalah sebagai perwujudan rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa atas hasil panen padi ladang yang melimpah, sekaligus penghormatan terhadap arwah leluhur yang diyakini senantiasa melindungi mereka dari berbagai marabahaya. Mereka meyakini, beras hasil panen (baras hanyar) belum boleh dimakan, sebelum upacara adat tersebut dilaksanakan.
Namun dalam perkembangan selanjutnya, upacara adat yang diwariskan secara turun-temurun ini juga digunakan untuk mensyukuri hasil usaha lainnya, seperti berdagang, beternak, nelayan, dan lain sebagainya. Begitu pula pelaksanaannya, yang tidak hanya diikuti oleh masyarakat Dayak pemeluk agama Kaharingan, tapi juga diikuti oleh pemeluk dari berbagai agama yang terdapat di Desa Kapul. Bahkan, upacara adat ini juga dihadiri oleh masyarakat yang berada di sekitar Desa Kapul, serta tokoh masyarakat dan pemuka adat dari kabupaten dan provinsi lain di Pulau Kalimantan yang sengaja diundang untuk menghadiri upacara ini.
Biasanya, pada upacara yang digelar selama tujuh hari tujuh malam berturut-turut ini disembelih beberapa ekor kerbau, kambing, dan ayam. Upacara adat tersebut juga dilengkapi dengan berbagai keperluan-keperluan lainnya, baik yang berkaitan dengan kebutuhan pihak penyelenggara maupun yang berhubungan dengan kelengkapan upacara itu sendiri, yang mana membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Agar tidak terlalu memberatkan, biaya untuk pelaksanaan upacara ini ditanggung bersama oleh kelompok masyarakat adat yang terdapat di Desa Kapul. Di desa tersebut terdapat tiga kelompok masyarakat adat, di mana setiap kelompok adat biasanya terdiri dari 25 sampai 30 kepala keluarga. Selain itu, untuk meringankan pihak penyelenggara, upacara adat Aruh Baharin belakangan ini digelar tiga tahun sekali dan bahkan lima tahun sekali.
Pantai Batakan
Pantai Batakan terletak di Desa Batakan, Kecamatan Panyipatan, Kabupaten Tanah Laut (Tala), sekitar 125 kilometer arah timur dari Kota Banjarmasin (Ibukota Provinsi Kalimantan Selatan). Untuk mencapai lokasi Pantai Batakan, dari Kota Banjarmasin relatif mudah karena kondisi jalannya cukup baik. Walaupun jalannya berkelak-kelok dan turun-naik, tetapi menyajikan pemandangan alam yang indah berupa barisan perbukitan yang menghijau, hamparan persawahan yang menguning, serta perkampungan nelayan yang berada di tepi pantai.
Pantai Batakan merupakan obyek wisata bahari yang terpadu dengan panorama alam pegunungan, karena di sebelah timurnya terdapat perbukitan pinus yang menjadi bagian dari Pegunungan Meratus. Di pantai ini pengunjung dapat mengelilingi pantai sambil menggunakan kuda sewaan, bersantai di bawah pohon cemara sambil menikmati keindahan pantai, atau menyaksikan panorama alam terutama saat matahari akan terbenam (sunset). Selain berwisata di sekitar pantai, pengunjung juga dapat berkunjung ke Pulau Datu yang letaknya tidak berapa jauh di depan Pantai Batakan. Di pulau ini terdapat sebuah obyek wisata religius yaitu makam Datu Pamulutan, seorang ulama yang dianggap sebagai wali Allah.
Sebagai catatan, sama seperti tempat-tempat rekreasi lainnya di Indonesia, Pantai Batakan juga dilengkapi pula dengan fasilitas khas tempat rekreasi, seperti kamar mandi untuk bilas, rumah ibadah (masjid), panggung hiburan, cottage, restourant, penginapan, playground, hingga areal parkir kendaraan bermotor yang cukup luas.
Pantai GEDAMBAAN
Pantai ini merupakan sebuah pantai yang sangat indah dan merupakan kebanggaan bagi masyarakat Kotabaru. Pantai ini terus dikembangkan dan pasilitasnya terus ditambah. Pada tahun 2006 dibangun kolam renang di kawasan sekitar pantai tersebut. Pantai ini selalu ramai dikunjungi khususnya pada hari sabtu dan hari minggu.
Salah satu keindahan alam yang menarik adalah gugusan terumbu karang didaerah Teluk Tamiyang yang berada di dalam kawasan Kecamatan Pulau Laut Barat. Keaslian terumbu karang yang belum tersentuh ini semakin menarik karena kejernihan air laut di daereh tersebut. kawasan ini dapat ditempuh dengan perjalanan darat dan kemudian di lanjutkan dengan menggunakan kapal motor kecil yang kesemuanya mempunyai jarak lebih kurang sekitar 4 Km dari Ibu Kota Kabupaten Kotabaru. Potensi alam yang demikian indah ini dianngap sebagian banyak orang tak kalah bagusnya dengan terumbu karang di kawasan wisata Taman Laut Bunaken yang berada didaerah Sulawesi Utara.
Kegiatan Lomba Perahu Katir ini merupakan kegiatan tahunan yang sudah dijadwalkan dalam agenda kegiatan pariwisata Kabupaten Kotabaru. Kejiatan tersebut merupakan jenis kegiatan bahari yang menyerupai jenis kegiatan pearahu layar dalam olahraga layar yangt tentunya sudah populer pada semua kalangan. Selain diikuti oleh peserta dari daerah sekitar Kabupaten Kotabaru sendiri, kegiatan tersebut juga diikuti oleh peserta dari luar daerah, dan uniknya lagi lomba tersebut juga terbuka untuk umum tidak hanya terbatas untuk warga sekitar saja.
Salah satu keindahan alam yang menarik adalah gugusan terumbu karang didaerah Teluk Tamiyang yang berada di dalam kawasan Kecamatan Pulau Laut Barat. Keaslian terumbu karang yang belum tersentuh ini semakin menarik karena kejernihan air laut di daereh tersebut. kawasan ini dapat ditempuh dengan perjalanan darat dan kemudian di lanjutkan dengan menggunakan kapal motor kecil yang kesemuanya mempunyai jarak lebih kurang sekitar 4 Km dari Ibu Kota Kabupaten Kotabaru. Potensi alam yang demikian indah ini dianngap sebagian banyak orang tak kalah bagusnya dengan terumbu karang di kawasan wisata Taman Laut Bunaken yang berada didaerah Sulawesi Utara.
Kegiatan Lomba Perahu Katir ini merupakan kegiatan tahunan yang sudah dijadwalkan dalam agenda kegiatan pariwisata Kabupaten Kotabaru. Kejiatan tersebut merupakan jenis kegiatan bahari yang menyerupai jenis kegiatan pearahu layar dalam olahraga layar yangt tentunya sudah populer pada semua kalangan. Selain diikuti oleh peserta dari daerah sekitar Kabupaten Kotabaru sendiri, kegiatan tersebut juga diikuti oleh peserta dari luar daerah, dan uniknya lagi lomba tersebut juga terbuka untuk umum tidak hanya terbatas untuk warga sekitar saja.
Pulau Kembang di Kabupaten Barito Utara
Pulau Kembang adalah sebuah delta seluas 60 Ha yang terletak di tengah sungai Barito dan merupakan habitat kera ekor panjang (monyet) dan beberapa jenis burung. Pada tahun 1976, pulau ini ditetapkan sebagai hutan wisata berdasarkan SK. Menteri Pertanian No. 788/Kptsum12/1976.
Menurut cerita, pulau Kembang berasal dari kapal Inggris yang dihancurkan oleh orang Biaju pada tahun 1750-an atas perintah sultan Banjar. Puing-puing bekas kapal tersebut lambat laun ditumbuhi pepohonan dan berubah menjadi sebuah pulau yang kemudian didiami sekelompok kera. Orang-orang desa yang berada di sekitar pulau baru ini menganggap bahwa kera-kera tersebut merupakan penjelmaan orang halus yang memakai sarungan kera. Kelompok kera tersebut dipimpin oleh seekor kera yang sangat besar bernama si Anggur.
Munculnya keyakinan tersebut menjadikan pulau yang baru muncul ini dijadikan sebagai tempat bernazar. Masyarakat sekitar datang ke pulau ini dengan membawa sesajen seperti pisang, telor, nasi ketan, mayang-pinang, dan beberapa jenis kembang. Oleh karena sering digunakan untuk tempat berhajat dan menabur kembang, pulau baru tersebut lebih dikenal dengan sebutan Pulau Kembang.
Di dalam kawasan hutan wisata ini terdapat altar yang diperuntukkan sebagai tempat meletakkan sesaji bagi "penjaga" pulau Kembang yang dilambangkan dengan dua buah arca berwujud kera berwarna putih (Hanoman). Keberadaan altar menunjukkan bahwa para pengunjung yang datang tidak sekedar berwisata melihat kera, tetapi juga datang untuk keperluan berdoa.
Keistimewaan :
Pulau Kembang ditempati oleh ratusan bahkan ribuan monyet dan beberapa jenis burung. Bila tengah beruntung, pengunjung bisa bertemu dengan salah satu spesies monyet yang menjadi maskot fauna Kalimantan Selatan, yaitu Bekantan (Nasalis larvatus). Kera ini memiliki sifat pemalu, berambut cokelat kemerah-merahan, dan berhidung panjang. Di tempat ini, para pengunjung juga bisa menyaksikan kera-kera yang bisa berenang. Selain itu, para pengunjung dapat berinteraksi dengan memberikan makanan berupa kacang dan merasakan sensasi luar biasa ketika dikerubuti kera-kera yang sangat banyak tersebut.
Selain menjadi tempat ribuan kera, di tempat ini ternyata juga ada sebuah kuil yang biasanya digunakan oleh para pengunjung untuk meletakkan sesajen atau melaksanakan nadzarnya. Pulau ini sering dihubungkan dengan kejadian-kejadian mistis. Banyak para pengunjung yang mengaku mengalami hal-hal mistis seperti melihat jembatan yang menghubungkan pulau Kembang dengan daratan; melihat sosok pangeran berbaju putih mengendarai kuda melintas di atas jembatan itu, dan lain sebagainya.
Menurut cerita, pulau Kembang berasal dari kapal Inggris yang dihancurkan oleh orang Biaju pada tahun 1750-an atas perintah sultan Banjar. Puing-puing bekas kapal tersebut lambat laun ditumbuhi pepohonan dan berubah menjadi sebuah pulau yang kemudian didiami sekelompok kera. Orang-orang desa yang berada di sekitar pulau baru ini menganggap bahwa kera-kera tersebut merupakan penjelmaan orang halus yang memakai sarungan kera. Kelompok kera tersebut dipimpin oleh seekor kera yang sangat besar bernama si Anggur.
Munculnya keyakinan tersebut menjadikan pulau yang baru muncul ini dijadikan sebagai tempat bernazar. Masyarakat sekitar datang ke pulau ini dengan membawa sesajen seperti pisang, telor, nasi ketan, mayang-pinang, dan beberapa jenis kembang. Oleh karena sering digunakan untuk tempat berhajat dan menabur kembang, pulau baru tersebut lebih dikenal dengan sebutan Pulau Kembang.
Di dalam kawasan hutan wisata ini terdapat altar yang diperuntukkan sebagai tempat meletakkan sesaji bagi "penjaga" pulau Kembang yang dilambangkan dengan dua buah arca berwujud kera berwarna putih (Hanoman). Keberadaan altar menunjukkan bahwa para pengunjung yang datang tidak sekedar berwisata melihat kera, tetapi juga datang untuk keperluan berdoa.
Keistimewaan :
Pulau Kembang ditempati oleh ratusan bahkan ribuan monyet dan beberapa jenis burung. Bila tengah beruntung, pengunjung bisa bertemu dengan salah satu spesies monyet yang menjadi maskot fauna Kalimantan Selatan, yaitu Bekantan (Nasalis larvatus). Kera ini memiliki sifat pemalu, berambut cokelat kemerah-merahan, dan berhidung panjang. Di tempat ini, para pengunjung juga bisa menyaksikan kera-kera yang bisa berenang. Selain itu, para pengunjung dapat berinteraksi dengan memberikan makanan berupa kacang dan merasakan sensasi luar biasa ketika dikerubuti kera-kera yang sangat banyak tersebut.
Selain menjadi tempat ribuan kera, di tempat ini ternyata juga ada sebuah kuil yang biasanya digunakan oleh para pengunjung untuk meletakkan sesajen atau melaksanakan nadzarnya. Pulau ini sering dihubungkan dengan kejadian-kejadian mistis. Banyak para pengunjung yang mengaku mengalami hal-hal mistis seperti melihat jembatan yang menghubungkan pulau Kembang dengan daratan; melihat sosok pangeran berbaju putih mengendarai kuda melintas di atas jembatan itu, dan lain sebagainya.
Langganan:
Postingan (Atom)